Bermula dari coretan di lembaran kertas yang jumlahnya hampir 1000 halaman. Coretan itu kemudian menjadi sebuah buku yang laris dan banyak di bedah di berbagai masjid dan kampus. Keinginan sang penulis untuk makin menyebarluaskan konsep yang ia gagas yaitu ESQ, memunculkan ide untuk membuat sebuah lembaga pelatihan sumber daya manusia. Kini lembaga yang fokus pada pembangunan karakter ini telah tumbuh berkembang selama 13 tahun. Selama itu pula jumlah Alumni ESQ telah mencapai lebih dari 1,2 juta orang tersebar luas tidak hanya di setiap provinsi di Indonesia, namun juga mancanegara. Tercatat beberapa negara yang pernah menyelenggarakan training ini seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Australia, Amerika, Belanda, Belgia, Helsinki, Spanyol, dll.
Namun di balik perjalanan yang tampak mulus itu, sesungguhnya menyimpan romantika sebuah perjuangan. Menurut penulis buku dan pendiri ESQ LC, Dr. HC Ary Ginanjar Agustian, ESQ pernah mengalami masa-masa sulit. Berkat transformasi yang dilakukannya maka ESQ bisa kembali stabil terbebas dari belitan krisis yang dialaminya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perjalanan ESQ, berikut petikan wawancaranya:
Apa yang membuat ESQ Leadership Center mampu bertahan selama berjalan 13 tahun?
Tentu saja karena pertolongan Allah Swt, itu yang utama. Akan tetapi sebagai manusia juga harus menjalankan syariat-syariat supaya ESQ bisa bertahan 13 tahun. Itu suatu pekerjaan yang tidak mudah. Ini sebuah pekerjaan yang sangat menantang akan tetapi Alhamdulillah selama 13 tahun ini kita survive. Tentu dalam perjalanannya banyak sekali perubahan yang kita lakukan.
Selama 13 tahun, kendala apa yang Anda hadapi dan bagaimana cara mengatasinya?
Selama satu dekade pertama, yaitu 2001 sampai 2011, ESQ hanya single product, yaitu training spiritualitas ESQ 165. Itu yang terus dilakukan selama kurang lebih 6000 angkatan. Akan tetapi di dekade kedua, tuntutan masyarakat berubah. Nah untuk melayani masyarakat kita harus melakukan transformasi. Contohnya kita mengubah yang tadinya single product menjadi multi product, dari single training jadi multi training.
Kedua, ESQ dulu tidak customer oriented, tapi product oriented. Sekarang sudah customer oriented. Jadi klien kita inginnya apa, kita sesuaikan modulnya supaya sesuai. Tetapi pendekatannya tetap tiga, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Ketiga, dulu ESQ product driven (membuat produk baru memikirkan bagaimana menjualnya). Sekarang tak bisa lagi karena kompetitor sudah banyak, jadi harus market driven (produk perlu dirancang dengan berfokus pada minat dan kebutuhan pasar). Artinya kita harus bisa memenuhi keinginan masyarakat.
Itu yang membuat ESQ bisa berubah. Nah untuk mengubah seperti itu tidak mudah. Pertama image masyarakat setiap kali menilai ESQ langsung ingat nangis atau tobat. Padahal ESQ harus menjelaskan bahwa ESQ tidak lagi seperti itu. ESQ bisa membantu korporasi dengan membuat budaya perusahaan, mengukur assessment, membangun service excellent dan sebagainya, tapi tetap berbasis spiritualitas.
Era pancaroba inilah yang kita hadapi selama tiga tahun terakhir. Saat yang bersamaan kita punya 400 karyawan. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan dari sisi pendapatan. Nah ini yang harus saya sadari, bagaimana supaya bangkit lagi agar perjuangan ini berkesinambungan. Harus ada sebuah perubahan tanpa meninggalkan nilai-nilai 165 (1 Ihsan, 6 Rukun Iman, 5 Rukun Islam).
Apa tantangan yang Anda hadapi saat Anda melakukan perubahan?
Saya menghadapi tantangan luar biasa, bahkan dari intern ESQ sendiri. Saya mendapat protes dari alumni juga para trainer. Alumni menganggap ESQ sudah keluar dari perjuangan karena mengutamakan bisnis. Trainer juga protes karena mindset selama ini mereka adalah pengajar bukan entrepreneur atau marketer. Biasanya mereka datang ke tempat training, peserta sudah siap, sekarang mereka harus mencari peserta. Bahkan harus mendatangi perusahaan-perusahaan untuk menawarkan training. Tak hanya itu, kini para trainer dididik dan disiapkan menjadi seorang konsultan yang dapat mengidentifikasi permasalahan perusahaan dan memberikan solusinya. Pada awalnya tidak mudah mengubah mindset ini. Namun saya terus menggulirkan program transformasi, sehingga kini semuanya merasakan manfaatnya. Jadi kalau kita mengajarkan transformasi perusahaan, hal itu memang sudah kita jalani di dalam perusahaan kita sendiri.
Krisis moral masih menjadi persoalan serius, lalu apa yang dilakukan ESQ untuk mengatasi masalah bangsa ini?
Saat ini Alumni ESQ baru berjumlah lebih dari 1,2 juta orang. Dalam satu bulan kita mentraining kurang lebih 10000 orang dari Sabang sampai Merauke. Dari jumlah alumni yang mencapai 1,2 juta orang, sekitar 400 ribu telah mengikuti training secara gratis, di antaranya 150 ribu guru, ustadz, dhuafa dan fakir miskin. Itulah kontribusi kita.
Kemudian kita juga memberikan pencerahan kepada lembaga-lembaga yang sangat strategis. Seperti kita masuk ke kepolisian, kejaksaan dan lembaga-lembaga strategis lainnya yang nantinya mereka akan melayani masyarakat. Kalau pelayan-pelayan masyarakat ini bisa baik, maka masyarakat akan mendapatkan kenyamanan di Indonesia.
Masalah karakter bangsa terjadi memang karena mindset para pemimpinnya tidak menjadikan karakter menjadi utama dan penting. Nah apa yang ESQ lakukan adalah memberi kesadaran kepada para pemimpin dan masyarakat bahwa pondasi dari sebuah keberhasilan bangsa itu terletak pada karakter bangsa itu sendiri. Isu tersebut kita dorong terus.
Apa alasan Anda menggaungkan visi Indonesia Emas 2020?
Indonesia Emas 2020 adalah Indonesia yang berkarakter, yaitu Indonesia yang jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil dan peduli. Ketika 7 Budi Utama itu dilaksanakan, maka akan lahir polisi yang jujur, pegawai negeri yang jujur, jaksa yang amanah, anggota DPR yang jujur, pelajar yang jujur.
Saya percaya bahwa Indonesia Emas itu adalah sebuah doa. Nah ketika itu menjadi sebuah doa, yang kita lakukan adalah lakukan saja yang kita tahu, dan Allah akan melakukan apa yang tidak kita tahu. Indonesia Emas menjadi sebuah inspirasi, sehingga memacu semangat seluruh rakyat Indonesia untuk mewujudkannya.
Apa tujuan didirikan Menara 165?
Setiap perjuangan itu perlu simbol. Hampir setiap perjuangan itu ada simbolnya, dan Menara 165 adalah simbol. Kenapa? Kalau kita lihat di seluruh Indonesia, lihatlah gedung-gedung tinggi dimana letaknya mushola atau masjid? Banyak gedung yang menempatkannya di basement. Itulah mindset orang Indonesia yang menjadikan Tuhan di bawah dan tidak penting. Tapi di Menara 165 kita letakkan tulisan Allah di atas puncaknya, dan ada mushola sebagai tempat untuk beribadah.
Harapan kita generasi yang akan datang sadar menempatkan Allah di atas segala-galanya. Barulah bangsa ini akan adil, sejahtera dan makmur. Sekarang yang di atas adalah kelompok di atas segala-galanya, sehingga bangsa ini terpecah belah. Itulah mengapa bangsa Indonesia dasarnya Ketuhanan yang Maha Esa, bangsa tauhid yang menjadikan Allah di atas semua kepentingan.•
* Disadur dari majalah ESQ Media edisi perdana (Mei 2013)